Tampaknya teguran sby di puncak Hari Anak Nasional (29/8/12) masih membawa trauma bagi dua orang anak ini. Mereka, sebut saja Aan dan Iin, lebih mengurung diri di kamar seperti menyesali telah datang ke acara tersebut. Aan mungkin lebih tegar dari Iin sehingga kami berhasil mewawancarainya. Sang ibu memberitahu agar kami kami tidak mengucapkan kata sby, susilo, bambang, yudhoyono, atau gabungan ketiganya. Perlu diketahui bahwa, meski mereka tidak bersaudara, tapi Aan dan Iin akan menangis dan berteriak ketika mendengar kata-kata tersebut.
Berikut hasil wawancara rekan kami, Iwan dari Bekasi:
Bagaimana kabar Aan sekarang?
(Wajah menunduk, tubuhnya digerakkan ke depan dan ke belakang)
Aan ...?
(Tidak menjawab)
Ok, om tanya yang lain ya.
(Terdengar suara lirih)
Aan kelas berapa sekarang?
(Aan hanya memberi isyarat dengan dua jari)
Kata mama, Aan selalu dapat rangking satu?
(Aan mengangguk berulang-ulang selama lima belas detik)
O ya, om bawa permen. Aan mau? (Iwan mengambil permen dari dalam kantong bajunya)
(Aan bergeming)
Kalau nggak mau, permennya om makan ya?
(Aan menggeleng-geleng kepalanya berulang-ulang selama lima belas menit)
Ya sudah. Om, taruh di meja permennya.
(Aan tidak menjawab)
Aan paling suka belajar apa?
(Aan memainkan jarinya, memberi tanda bahwa ia menyukai Matematika)
Aan memang seorang anak cerdas seperti yang berbagai piala lomba Matematika yang ditunjukkan ibunya. Bahkan Aan mampu memecahkan teori terakhir Fermat yang terkenal itu. Tapi idola Aan bukan dari kalangan illmuwan Matematika. Ia seorang fans berat Ali Syariati dan Muhammad Yunus. Sedangkan satu-satunya ilmuwan yang dikagumi adalah Richard Feynman.
Foto-foto Aan sebelum kejadian menunjukkan keceriaan dan kepolosan seorang anak. Tapi kebahagiaannya itu setelah direnggut oleh orang yang tidak bisa disebutkan namanya di depan Aan. Kini Aan menjadi seorang anak ketakutan dengan trauma yang tampaknya sulit dihilangkan dalam jangka waktu lama.
Sepertinya wawancara sulit dilakukan sehingga ibunya Aan menyarankan agar wawancara dilakukan kembali setelah makan siang.
Di meja makan, rekan kami disuguhi tempe, ikan asin dan sayur asem yang nikmat. Aan duduk di sebelah ibunya. Ia tidak makan sama sekali. Hal ini mengundang rasa penasaran rekan kami yang kemudian memutuskan untuk mewawancarai ibunya di meja makan.
Berikut wawancaranya:
Jadi bagaimana pola makan Aan, bu?
Sekarang sih mendingan. Kalau lagi lapar ya makan. Kalau nggak lapar ya nggak makan.
???
Mungkin sekarang lagi nggak lapar.
Sudah dibawa ke psikolog?
Psikolog, psikiater, orang pintar, para normal ... sudah semua mas. Tapi hasilnya nihih.
Jadi usaha apa lagi untuk mengobati Aan?
Ya, saya pasrah saja mas.
Menurut ibu, apakah sby menjadi orang yang paling bersalah?
(Ibu Aan tidak menjawab. Ia terdiam, seolah ada sesuatu yang salah dikatakan rekan kami)
Halo?
Kamu baru saja mengucapkan kata terlarang di rumah ini.
O'o
(Terdengar suara menggerutu, lalu berubah menjadi seperti bunyi sirine, melengking dan semakin keras. Aan berteriak-teriak. Ia mengambil gelas dan melemparnya ke tembok. Kemudian ia melempari semua benda di atas meja, membantingnya dan membalikkan meja makan*&(*^#Q7787&@^#^@%Q^#^G#YVGVV#F^T@^%@HVGHVgvygfytF5w22q2q .. "ERROR")